Examining the palm oil industry necessitates a focus on Indonesia. Indonesia’s 52 million tons of palm oil production represents 72% of the global supply chain. This makes it the global hub for the palm oil sector. Some of the biggest agri-business companies such as Cargill, Bunge, Olam and Wilmar generate substantial revenues from their oil-seeds segment producing and trading palm oil and laurics related products including oleochemical and biodiesel. The result is a multi-billion dollar industry, but whose growth has occurred alongside major contributions to global greenhouse gas emissions. Therefore, the sustainability of the Indonesian palm oil sector will be paramount to safeguard investor dollars in the face of climate change transitions. The sector’s growth, especially since 2010, has been responsible for significant ecosystem degradation because of its heavy reliance on geographic expansion through deforestation. Between 2001 and 2019, clearing of primary tree cover for the production of palm oil released the equivalent of 11 gigatons of CO2 emissions – more than China’s annual CO2 emissions in 2018. As climate transitions accelerate, from policies to consumer sentiments, we see material risks that threaten this existing business model. Orbitas has produced an analyst brief on the sector to demonstrate how companies in the oil palm supply chain will fare under this new reality. Our key findings are:

  • The Indonesian palm oil sector is highly vulnerable to global and local climate transitions because of its high export volume, reliance on land, and direct operational emissions due to emissions-intensive fertilizer and diesel fuels.
  • Demand will outpace supply, especially in lieu of land-use restrictions. This will have a cascading effect on land prices, thus incentivizing higher productivity How a company performs is largely determined by its land-use and emissions management strategy, balance sheet strength and access to capital, and overall operational efficiency.
  • When compared to a “business as usual” pathway, the palm oil sector looks very different under climate transitions.
  • Under a 1.5°C scenario, we find:
    • 29% higher palm oil prices
    • 52% higher land values
    • 9% higher palm yields

$9 billion increase in the sectors implied market value The interactive dashboard below shows how the sector performs under different transitions scenarios:

Upaya memahami industri kelapa sawit Indonesia membutuhkan fokus lebih besar. Produksi 52 juta ton minyak kelapa sawit Indonesia mewakili 72% dari rantai pasok global. Jumlah ini menjadikan Indonesia sebagai pusat minyak sawit dunia.

Beberapa perusahaan agrobisnis besar seperti Cargill, Bunge, Olam dan Wilmar telah meraup pendapatan besar dari produksi dan perdagangan minyak sawit, termasuk produk terkait seperti oleokimia dan biodiesel. Hasilnya tidak hanya industri multi-miliar dolar, tetapi juga pertumbuhannya juga berdampak signifikan terhadap emisi gas rumah kaca global.

Oleh karena itu, keberlanjutan sektor kelapa sawit Indonesia akan sangat penting untuk melindungi investor dalam menghadapi transisi perubahan iklim.

Sejak 2010, pertumbuhan sektor ini bertanggung jawab atas degradasi ekosistem yang signifikan, karena ketergantungannya yang besar pada ekspansi lahan melalui deforestasi. Selama 2001 hingga 2019, penggundulan tutupan hutan primer untuk produksi minyak sawit melepaskan 11 gigaton emisi CO2–lebih besar dari emisi CO2 tahunan China pada 2018.

Ketika transisi iklim meningkat, mulai dari kebijakan hingga sentimen konsumen, kami melihat risiko nyata yang mengancam model bisnis saat ini. Orbitas telah menghasilkan ringkasan analisis untuk menggambarkan bagaimana perusahaan dalam rantai pasokan kelapa sawit bertahan dalam realita baru.

Temuan utama kami adalah:

  • Sektor minyak sawit Indonesia sangat rentan terhadap transisi iklim global dan lokal karena volume ekspornya yang tinggi, ketergantungannya pada lahan, dan produksi emisi dari kegiatan operasional berupa penggunaan pupuk secara intensif dan pemakaian bahan bakar diesel.
  • Permintaan minyak sawit akan melampaui pasokan, terutama saat ada kebijakan pembatasan penggunaan lahan. Akan terjadi efek cascading atau penurunan pada harga tanah, sehingga mendorong produktivitas untuk lebih tinggi.
  • Kinerja perusahaan secara umum akan ditentukan strategi pengelolaan lahan dan emisi, keseimbangan kekuatan neraca dan akses modal, serta efisiensi operasional secara keseluruhan.
  • Jika dibandingkan dengan jalur “aktivitas seperti biasa/business as usual (BAU)”, sektor kelapa sawit terlihat sangat berbeda di bawah transisi iklim. Dengan skenario 1.5℃, beberapa temuan yang kami dapatkan:
    • 29% kenaikan harga minyak sawit
    • 52% kenaikan harga jual lahan
    • 9% kenaikan panen sawit
    • US$9 miliar peningkatan nilai pasar tersirat

Dasbor interaktif di bawah menampilkan bagaimana kinerja sektor kelapa sawit dalam kondisi transisi yang berbeda:

Our research relies heavily on spatial analysis of land-use most suitable for palm oil production. By investing strategically, optimizing and intensifying production, companies will be able to avoid significant asset and economic stranding as the most stringent of transition policies take hold. A grid-cell level analysis suggests there will be significant differences with some areas excelling while other areas suffering significant losses as shown in the visual below. The largest of these losses will occur where forests are likely to expand under land-use restrictions.

Lastly, the role of smallholder farmers cannot be overlooked. For a just transition to take place under these climate transitions, smallholders will need technical support from both the public and private sectors. More importantly, access to credit markets at reasonable rates will be fundamental to bridge the yield gap that currently exists between smallholder and corporate actors. While there will be structural headwinds, a sustainable path does render the sector to be profitable all the while playing a vital part in the restoration of ecosystems and enabling nature-based solutions. For a more detailed examination of our research, download the Indonesia analyst brief below.

Penelitian kami sangat bergantung pada analisis spasial penggunaan lahan yang paling sesuai untuk produksi minyak sawit. Dengan berinvestasi secara strategis, mengoptimalkan dan mengintensifkan produksi, perusahaan dapat menghindari aset ekonomi yang terbengkalai secara signifikan karena pemberlakuan kebijakan transisi yang paling ketat. Analisis tingkat sel grid menunjukkan akan ada perbedaan yang signifikan pada beberapa area yang unggul. Sedangkan di area lain mengalami kerugian yang signifikan seperti ditunjukkan pada visual di bawah ini. Kerugian terbesar ini akan terjadi di area hutan yang cenderung berkembang karena pembatasan penggunaan lahan.

Terakhir, peran petani kecil tidak bisa diabaikan. Agar transisi merata terjadi dalam skenario transisi iklim, petani kecil akan membutuhkan dukungan teknis dari sektor publik dan swasta. Lebih penting lagi, akses ke pasar kredit dengan harga yang wajar akan menjembatani kesenjangan antara petani kecil dan pihak perusahaan. Meskipun akan terjadi hambatan struktural, jalur berkelanjutan membuat sektor ini menguntungkan sembari berperan penting dalam pemulihan ekosistem dan memunculkan solusi berbasis lingkungan. Untuk analisis yang lebih mendalam dari penelitian kami, unduh ringkasan analis Indonesia di bawah ini.

 

 

*Note: Analysis is based on the most recent publicly available concessions data (around 2015) from Greenpeace. This data may not fully reflect current conditions, and Orbitas has already identified inaccuracies through engagement with the Indonesian palm oil industry. Nevertheless, this data provides useful indications of the magnitude of risks, and Orbitas is continuing to work with industry experts to ensure that modeling is based on best available data.